Mayoritas mata uang Asia menguat dalam sepekan setelah
bank sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve (The Fed) memangkas suku bunga untuk pertama kali setelah empat tahun.
Melansir data Refinitiv hingga akhir perdagangan kemarin Jumat (20/9/2024), penguatan paling perkasa mata uang Asia dalam melawan dolar AS ditempati Thailand Bath yang sehari melonjak 0,78%, diikuti rupiah menguat 0,56%.
Yuan China, Rupee India, dan Ringgit Malaysia juga cenderung menguat secara moderat. Sementara Peso Filipina, Won Korea Selatan, dan Yen Jepang malah berakhir ambruk pada akhir pekan.
Yen Jepang jadi yang paling parah dengan pelemahan nyaris 1% dalam sehari.
Jika diakumulasi dalam sepekan, yen Jepang masih menjadi yang paling parah dengan anjlok 2,19% terhadap dolar AS.
Hal tersebut terjadi lantaran bank of Japan (BoJ) atau bank sentral Jepang pekan ini masih mempertahankan suku bunga-nya. Indikator ekonomi dari negeri bunga Sakura sejauh ini juga masih menunjukkan potensi penguatan suku bunga.
Gubernur BoJ, Kazuo Ueda mengatakan pada konferensi pers setelah pertemuan kebijakan dua hari, menggarisbawahi bahwa BoJ akan menaikkan suku bunga jika ekonomi dan harga bergerak sesuai rencana.
Tomoichiro Kubota, analis pasar senior di Matsui Securities Co mengatakan “Mayoritas pelaku pasar memperkirakan kenaikan suku bunga berikutnya akan terjadi pada bulan Desember,”
Namun, setelah pernyataan Gubernur BoJ pada pekan ini membuat sebagian dari analis berpikir bahwa potensi kenaikan suku bunga akan ditunda hingga awal tahun depan.
Selain Jepang, Won Korea Selatan juga terkoreksi sepanjang pekan ini, sebesar 0,26%. Sementara mayoritas mata uang Asia pekan ini terpantau masih dalam zona hijau.
Ringgit Malaysia memimpin, dengan melonjak 2,28%, diikuti Rupiah 1,62, Bath Thailand nyaris 1%, Peso Filipina dan Yuan China di kisaran 0,60%, dan Rupee India menguat 0,47%.
Mayoritas mata uang Asia yang menguat merespon kabar gembira dari The Fed yang menurunkan suku bunga sebesar 50 basis poin (bps) menjadi 4,75-5,00% pada Kamis dini hari waktu Indonesia, melampaui ekspektasi pelaku pasar.
The Fed dalam keterangannya menjelaskan pemangkasan suku bunga dilakukan karena meyakini inflasi AS sudah bergerak menuju target kisaran mereka di angka 2%. Namun, faktor utama dari pemangkasan sebesar 50 bps adalah tingkat pengangguran AS yang melambung.
“Mengingat kemajuan dalam inflasi dan keseimbangan risiko, Komite memutuskan untuk menurunkan suku bunga sebesar 50 bps,” tulis The Fed dalam website resmi mereka.
Suku bunga AS yang lebih rendah dapat meningkatkan selera risiko dan mendorong aliran modal ke pasar berkembang saat investor mencari imbal hasil yang lebih tinggi.
Dikutip dari The Economic Times, Head of Research Bahana Sekuritas, Satria Sambijantoro menyatakan bahwa pemotongan suku bunga yang dovish memberikan momentum apresiasi bagi mata uang pasar berkembang, dengan pemotongan suku bunga sejauh ini tidak diinterpretasikan sebagai pandangan suram terhadap ekonomi AS.