Mata uang Garuda ambruk di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Dalam sehari lebih mahal nyaris 200 perak.
Melansir Refinitiv, pada penutupan perdagangan Senin hari ini (7/10/2024) rupiah keok 1,26% dalam sehari ke posisi Rp15.675/US$.
Pelemahan ini menjadikan rupiah berada di posisi paling dalam sejak dua bulan lalu atau tepatnya pada 16 Agustus 2024.
Bersamaan dengan pelemahan rupiah, indeks dolar AS (DXY) turun ke titik 102.496 dengan pelemahan sebesar 0,02%.
Pelemahan rupiah terjadi setelah Bank Indonesia (BI) melaporkan cadangan devisa (cadev) pada akhir September 2024 mengalami penyusutan menjadi US$ 149,9 miliar, dari bulan sebelumnya sebesar US$ 150,2 miliar.
Penyusutan cadev ini diluar ekspektasi pelaku pasar yang sebelumnya berharap bisa meningkat lantaran sampai akhir September lalu rupiah masih dalam tren apresiasi yang cukup kuat.
Sentimen eksternal juga masih menjadi tantangan bagi rupiah, termasuk perang Iran – Israel yang memanas, ditambah penantian data genting dari AS.
Setelah Iran meluncurkan sekitar 180 rudal ke Israel sebagai respons terhadap pembunuhan pemimpin Hamas dan Hizbullah, hal ini berakibat pada kerugian nyawa di Tepi Barat dan serangan ke pangkalan militer Israel.
Ketegangan tersebut semakin diperparah oleh pernyataan calon Presiden AS Donald Trump, yang mendesak Israel untuk menyerang fasilitas nuklir Iran.
Sikap keras Trump bertentangan dengan Presiden AS Joe Biden, yang lebih berhati-hati dalam merespons situasi ini. Hal ini menciptakan sentimen risiko yang lebih tinggi di pasar, mendorong investor untuk menghindari aset berisiko.
Chief Economist Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Rully Wisnubroto, menyatakan bahwa sentimen geopolitik di Timur Tengah memberikan dampak signifikan terhadap nilai rupiah.
Ia menegaskan bahwa sentimen risk-off ini terlihat di pasar emerging market, di mana banyak mata uang melemah terhadap dolar AS.
Selain faktor geopolitik, pelemahan rupiah juga dipengaruhi oleh data ketenagakerjaan Amerika Serikat yang lebih baik dari ekspektasi pasar.
Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia, Edi Susianto, juga menyebutkan bahwa data tersebut meningkatkan sentimen risk-off dan mengubah ekspektasi pasar terhadap penurunan Fed Fund Rate (FFR) pada November 2024.
Meskipun demikian, Edi menegaskan bahwa Bank Indonesia akan terus melakukan intervensi untuk menjaga stabilitas pasar.