Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Merek Global Indonesia (APREGINDO) Handaka Santosa mempertanyakan relevansi kebijakan pengamanan perdagangan safeguard untuk melindungi produk lokal dari persaingan impor yang sudah diterapkan sejak tahun 2021 lalu.
Menurutnya, sejak kebijakan itu berjalan tiga tahun lalu, pertumbuhan di sektor manufaktur tidak menunjukkan adanya perkembangan signifikan di industri dalam negeri. Untuk itu, dia menilai pemerintah perlu melakukan analisis kembali sebelum memutuskan safeguard dilanjutkan atau tidak.
“Manufaktur ini kan harusnya tumbuh dengan adanya safeguard yang sudah dikenakan sejak November tahun 2021. Sudah 3 tahun dikenakan safeguard. Nah, dalam 3 tahun ini setiap tahun ada nggak sih laporannya? tumbuhnya berapa atau malah merugikan? Nah kalau tau-tau mau diperpanjang lagi, selama ini ada pertumbuhan nggak?” kata Handaka dalam Power Lunch CNBC Indonesia, dikutip Kamis (14/11/2024).
Handaka menilai, jika kebijakan tersebut hanya berjalan tanpa evaluasi tahunan, maka perpanjangan safeguard bisa jadi kontraproduktif. Menurutnya, jika masih belum ada hasil yang signifikan dari adanya kebijakan tersebut, maka sepatutnya dilakukan pengkajian kembali. Kata dia, jangan sampai pemerintah membuat kebijakan hanya karena kepentingan sesaat atau populis saja.
“Apakah waktu menetapkan safeguard tahun 2021 itu hanya karena iseng saja atau untuk kemajuan dan pertumbuhan negara kita? Ini patut dipertanyakan. Kalau tidak ada analisanya setiap tahun tumbuhnya apa? Wah, ya sebaiknya di-review lagi gitu,” tukasnya.
Handaka menekankan pentingnya pemerintah mengambil keputusan berdasarkan data, bukan emosi atau tekanan politik. Sebab katanya, fakta menunjukkan bahwa konsumsi rumah tangga adalah pendorong terbesar ekonomi, bukan ekspor atau pertambangan.
Oleh karena itu, dia berharap kebijakan yang diambil pemerintah ke depan lebih mendukung akses masuk barang yang dibutuhkan konsumen di dalam negeri. Dengan ini, Indonesia dapat memaksimalkan konsumsi domestik, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan memastikan potensi pajak tidak hilang ke luar negeri.
“Ritel ini tidak pro-impor, tetapi ritel ini seperti broker atau makelar. Dia menjual barang yang memang benar-benar dicari oleh customer. Kalau punya barang yang nggak dicari, nanti jadi setahun tidak terjual, jadi stok mati,” ucapnya.
Sementara konsumen memiliki hak memilih akan membelanjakan uangnya ke mana. Kata dia, jika barang yang dicari konsumen tidak tersedia di Indonesia, maka konsumen akan membeli barang itu ke luar negeri.
“Alternatif lain, apabila mereka tidak bisa dapat (di dalam negeri), mereka belanja ke luar negeri, atau titip jastip, yang mana dua-duanya tidak ada untungnya bagi negara. Karena tidak bayar bea masuk, tidak bayar PPN, dan lain-lain. Apakah memang negara mau itu? Jadi saya minta para menteri yang terlibat di bidang ini, itu benar-benar memikirkan agar jangan hanya populis, sehingga kurang berguna,” pungkasnya.