
Di balik jeruji besi lembaga pemasyarakatan (lapas) di Pulau Nusakambangan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, suara mantan amir Jamaah Islamiyah (JI), Para Wijayanto, terdengar lantang namun teduh.
Ia bukan sedang memimpin organisasi bawah tanah, melainkan menyampaikan dakwah moderat yang menyerukan transformasi ideologi, dari jalan ekstrem menuju kembali setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Saya katakan kepada mereka: yang kita bangun dulu, salah. Sekarang saatnya kembali, karena kebenaran tidak bisa dibela dengan cara yang salah,” kata Para Wijayanto, dalam wawancara khusus dengan ANTARA, usai kegiatan Rumah Wasathiyah di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, Jumat (1/8).
Ajakan itu bukan datang dari orang sembarangan. Para Wijayanto adalah mantan pemimpin tertinggi Jamaah Islamiyah, organisasi yang pernah dianggap sebagai jaringan terorisme paling berbahaya di Asia Tenggara. Ia menjabat sebagai amir dari tahun 2008 hingga 2019, dan baru pada pertengahan 2024 mengumumkan secara terbuka pembubaran organisasi tersebut bersama 15 tokoh lainnya.
Kini, melalui Rumah Wasathiyah, sebuah gerakan transformasi ideologi berbasis keilmuan, ia mencoba membalik arus. Bukan lagi perekrutan menuju radikalisme, melainkan dakwah untuk kembali kepada semangat keindonesiaan, Islam moderat, dan cinta tanah air.
Kegiatan Rumah Wasathiyah yang berlangsung selama dua hari itu menyasar empat lapas, yakni Besi, Gladakan, Permisan, dan Ngaseman. Para menjadi narasumber utama dalam diskusi keagamaan bersama puluhan narapidana kasus terorisme (napiter).
Kendati kegiatan tersebut menyasar napiter eks JI di Nusakambangan, dalam praktiknya banyak napiter kelompok lain yang mengikutinya. “Tujuan utama kami adalah memperkenalkan wasathiyah (bersikap moderat) kepada para napiter. Ini bukan sekadar deradikalisasi, tapi benar-benar transformasi dari dalam,” kata Dewan Pakar Rumah Wasathiyah itu.
Program Rumah Wasatiyah diinisiasi oleh para mantan tokoh JI dan mendapat dukungan dari kalangan akademisi lintas ormas, seperti NU, Muhammadiyah, UIN, dan UNU. Inisiatif ini berupaya membangun kesadaran ideologis berbasis literatur klasik Islam dengan pendekatan damai dan dialogis.
Dalam istilah yang mereka gunakan, Rumah Wasathiyah menekankan pemahaman tentang wasathiyah, yakni jalan tengah yang inklusif, toleran, dan berbasis dalil yang kuat. Lawannya adalah tatharruf, yaitu sikap ekstrem dalam beragama, baik ifrath (berlebihan) maupun tafrith (mengabaikan prinsip atau mengurang-urangi).
Berbeda dengan program deradikalisasi yang kadang hanya menyentuh permukaan, kegiatan yang dilakukan Rumah Wasathiyah menembus akar ideologi melalui pendekatan keilmuan berbasis turats atau kitab klasik karya para ulama abad ke-7 Hijriyah seperti Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, dan Ibnu Katsir.