Budi Arie Ungkap Penyebab Susu RI Kalah Sukses dari Selandia Baru Cs

Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi saat acara serah terima jabatan dan pisah sambut di Gedung Kementerian Koperasi, Jakarta, Senin (21/10/2024). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Menteri Koperasi (Menkop) Budi Arie Setiadi menyoroti kesuksesan koperasi susu di Selandia Baru dan Belanda. Di mana dengan model koperasi, katanya, negara-negara tersebut berhasil dalam meningkatkan produktivitasnya hingga menjadi pemain utama di pasar susu dunia. 

Ia pun membandingkan kondisi di Indonesia, terkait produksi dan keberadaan koperasi susu di dalam negeri. Budi Arie lalu membeberkan persoalan dasar yang membuat produksi susu RI masih jauh dari negara-negara produsen seperti Selandia Baru dan Australia.

Budi menilai, kesuksesan koperasi susu di kedua negara ini merupakan bukti nyata dari kekuatan koperasi yang terstruktur dan terorganisir dengan baik. Katanya, koperasi susu terbesar di dunia, seperti Fonterra di Selandia Baru dan FrieslandCampina di Belanda merupakan hasil dari kerjasama antar peternak yang terjalin dengan baik.

Dia menyebut Fonterra telah berhasil memanfaatkan model koperasi untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan peternaknya, hingga mencapai posisi tawar yang kuat di pasar global.

“Karena kalau sudah peternakan begini kan skalanya harus bersama-sama. Jadi misalnya, 1.000 peternak punya 10 sapi, (maka) 10.000 ekor itu (dikelola) satu kooperasi gitu loh. Jadi punya posisi tawar dan juga posisi pasarnya jadi lebih kuat,” kata Budi saat ditemui di Menara Bank Mega, Jakarta, Selasa (12/11/2024).

Sementara di Indonesia, Budi mengungkapkan tantangan utama koperasi susu adalah produktivitas yang masih rendah. Di mana saat ini, produktivitas sapi perah di Indonesia hanya sekitar 8-12 liter per ekor per hari, sangat jauh di bawah Selandia Baru dan Australia yang rata-rata mencapai 25 liter per ekor per hari.

“Susu sapi di Indonesia ini produktivitasnya hanya 8-12 liter per ekor per hari, sedangkan di negara lain seperti di Selandia Baru dan Australia itu sudah sampai 25 liter (per ekor per hari). Bayangin coba dari segi produktivitas saja sudah setengahnya kan,” ujarnya.

Dia pun menjelaskan, persoalan produktivitas yang rendah ini sebagian besarnya disebabkan oleh kualitas pakan dan bibit sapi perah. Menurutnya, jika kualitas pakannya baik, maka produksi susunya juga akan baik.

“Saya sudah diskusi dengan pakar peternakan, mereka mengatakan kualitas pakannya (yang menjadi masalah), sehingga kalau pakannya baik tentu produksi susunya atau produktivitas susunya bisa lebih besar,” terang dia.

Kendati demikian, Budi menekankan bahwa persoalan pakan sampai dengan bibit sapi perah itu menjadi ranahnya Kementerian Pertanian, namun dari sisi Kementerian Koperasi akan fokus dalam bagaimana mengorganisir koperasi agar bisa membantu para peternak rakyat dalam meningkatkan efisiensinya.

“(Untuk meningkatkan) produktivitasnya kan ranah Kementerian Pertanian. Namun kita terus melakukan koordinasi juga lintas Kementerian/Lembaga untuk melakukan kesatuan dalam kebijakan. Tapi tugas kami di Kemenkop adalah mengorganisirnya,” kata Budi.

Lebih lanjut, dia menyebut kesuksesan koperasi susu di Selandia Baru dan Belanda membuktikan bahwa dengan pengorganisasian koperasi yang baik, maka koperasi itu bisa menjadi penopang utama sektor peternakan dan pertanian.

Bahkan, katanya, di negara-negara tersebut anggota koperasinya bisa meraih pendapatan tahunan yang signifikan dari usaha susu, di mana pendapatan dari Sisa Hasil Usaha (SHU) nya mencapai US$ 40.000 atau sekitar Rp632 juta per tahun (asumsi kurs Rp15.811/US$).

“Bayangkan koperasi di negara itu setahun mereka satu orang bisa dapat US$40.000 SHU-nya. Makannya makmur-makmur peternak,” pungkasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*