Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membeberkan, sektor minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia memiliki tantangan yang berbeda dibandingkan dengan sektor mineral dan batu bara. Diantara tantangannya adalah persoalan perizinan.
“Kalau mineral dan batu bara kan izin usaha ya, jadi memang swasta yang memiliki izin usahanya sedangkan kalau di rezim migas ini ya mereka hanya mendapatkan menjadi kontraktor ya,” jelas Anggawira kepada CNBC Indonesia dalam program Squawk Box, Kamis (24/10/2024).
Sejatinya izin wilayah kerja (WK) industri hulu migas merupakan milik negara. Maka, Anggawira menilai, pemerintah sewajarnya ikut turut campur dalam hal perizinan termasuk di lapangan. Sehingga, kontraktor yang mendapatkan izin WK tersebut hanya tinggal bekerja.
“Ya idealnya memang kontraktor ini hanya tinggal bekerja ya. Perizinan dan lain sebagainya ya government karena ini kan milik negara,” jelasnya.
Untuk mendukung itu, Kementerian ESDM dan SKK Migas akan memformulasikan bagaimana agar perizinan yang saat ini masih dianggap ‘ruwet’ bisa lebih baik lagi, untuk mendorong minat investor berinvestasi sektor hulu migas dalam negeri.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia akan memangkas proses perizinan eksplorasi minyak dan gas bagi investor. Hal ini diungkapkan Bahlil dalam Rakornas REPNAS 2024 di Jakarta, Senin (14/10/2024).
“Ke depan akan dipangkas regulasi menghambat eksplorasi dari 320 izin, sekarang tinggal 140 izin. Ini dipangkas lagi supaya investor masuk. Kalau gak ada yang lebih kompetitif gimana investor masuk. Ini kita ubah,” ujar Bahlil.
Adapun, rencana merampingkan perizinan eksplorasi ini berawal dari banyaknya sumur minyak dan gas di Indonesia yang tidak beroperasi alias idle. Dari data yang diperoleh Kementerian ESDM, ada sebanyak 900.000 sumur migas di Indonesia. Saat ini yang aktif hanya 600.000 dan 16.600 lebih itu idle.
“Setelah di-breakdown ada 5.000 sumur yang bisa dioptimalkan. Kita harus eksplorasi, sudah banyak di timur,” kata Bahlil. Sayangnya, biayanya cukup tinggi dan waktu yang dibutuhkan sangat cepat. Oleh karena itu, kondisi ini membutuhkan investasi asing. Untuk memperlancar investasi, dibutuhkan regulasi yang ramping.
“Kalau ga ada yang lebih kompetitif gimana investor masuk. Ini kita ubah,” tegasnya.