
Amerika Serikat (AS) dan China kini “saling bunuh”, dengan saling serang tarif impor secara gila-gilaan. Dalam perkembangan terbaru Jumat (11/4/2025), AS menerapkan tarif ke barang-barang China sebesar 145% sementara China menerapkan tarif ke barang-barang AS 84%.
Lalu bagaimana dampak ketegangan keduanya bagi dunia? Apa artinya bagi ekonomi dunia?
Mengutip BBC International, perdagangan barang antara kedua kekuatan ekonomi tersebut mencapai sekitar U$585 miliar (Rp 9.781 triliun). Data ini diambil tahun 2024 lalu.
AS mengimpor jauh lebih banyak dari China, dengan nilai US$440 miliar. China sendiri mengimpor lebih sedikit dari Amerika US$145 miliar.
Hal itu menyebabkan Washington mengalami defisit perdagangan dengan Beijing. Bahkan selisih antara barang yang diimpor dan diekspor sebesar US$295 miliar pada tahun 2024.
Ini adalah defisit perdagangan yang cukup besar. Bahkan setara dengan sekitar 1% dari ekonomi AS.
Namun, jumlah itu lebih kecil dari angka US$1 triliun yang berulang kali diklaim Trump minggu ini. Trump sendiri telah memberlakukan tarif yang signifikan terhadap China pada masa jabatan pertamanya sebagai presiden dan tetap berlaku serta ditambah oleh penggantinya kala itu, Joe Biden.
Memang secara keseluruhan, hambatan perdagangan tersebut membantu menurunkan barang yang diimpor AS dari China. Dari pangsa 21% dari total impor Amerika pada tahun 2016 menjadi 13% tahun lalu.
Jadi, ketergantungan AS pada China untuk perdagangan telah berkurang selama dekade terakhir. Namun, para analis menunjukkan bahwa beberapa ekspor barang China ke AS telah dialihkan melalui negara-negara Asia Tenggara.
Misalnya, panel surya. Sejak 2018, pemerintahan Trump mengenakan tarif 30% pada panel surya impor China.
Namun, Departemen Perdagangan AS memberikan bukti pada sejak 2023 produsen panel surya China telah mengalihkan operasi perakitan mereka ke negara-negara ASEAN, antara lain Malaysia, Thailand, Kamboja, dan Vietnam. Negara-negara itu lalu mengirim produk jadi ke AS dari negara-negara tersebut, sehingga secara efektif terhindar dari tarif.
Oleh karena itu, tarif “timbal balik” Trump pada akhirnya membidik negara-negara tersebut karena satu hal. Yakni, karena barang mereka mau tak mau memang berasal dari China.
Apa saja barang yang diimpor AS dan China satu sama lain?
Merujuk laman yang sama, di 2024, ekspor terbesar dari AS ke China adalah kacang kedelai, digunakan untuk pakan babi di China. Selain itu, AS juga mengirim obat-obatan dan minyak bumi ke Tirai Bambu.
Barang ekspor China ke AS didominasi elektronik, komputer, dan mainan diekspor. Sejumlah besar baterai, yang sangat penting untuk kendaraan listrik, juga diekspor.
Kategori impor AS terbesar dari Tiongkok adalah telepon pintar (smartphone) yang mencakup 9% dari total. Sebagian besar telepon pintar ini dibuat di pabrik China untuk Apple, perusahaan multinasional yang berbasis di AS.
Tarif AS terhadap China telah menjadi salah satu kontributor utama penurunan nilai pasar Apple dalam beberapa minggu terakhir. Harga sahamnya bahkan turun hingga 20% selama sebulan terakhir.
Dengan kenaikan tarif hingga 100% lebih, analis percaya dampaknya bisa lima kali lebih besar ke konsumen AS. Konsumen China juga akan dirugikan dengan kenaikan harga yang sama.
Balasan di Luar Tarif
Sebenarnya selain tarif, kedua negara itu memiliki cara lain merugikan satu sama lain. China bisa memanfaatkan logam penting sementara AS mempersulit microchip Beijing.
Perlu diketahui China merupakan negara yang memiliki peran utama dalam penyulingan banyak logam penting untuk industri, mulai dari tembaga dan litium hingga tanah jarang (rare earth). Negeri itu dapat menempatkan rintangan di jalan agar logam-logam ini tidak sampai ke AS.
Ini juga sebenarnya sudah dilakukan China dengan membatasi ekspor dua bahan yang disebut germanium dan galium. Keduanya penting untuk militer dalam pencitraan hal termal dan radar.
AS sendiri dapat mencoba memperketat blokade teknologi terhadap China lagi dengan mempersulit impor jenis mikrocip canggih – yang penting untuk aplikasi seperti kecerdasan buatan – yang masih belum dapat diproduksi sendiri. Penasihat perdagangan Donald Trump, Peter Navarro, telah menyarankan tekanan pada negara-negara lain, termasuk Kamboja, Meksiko, dan Vietnam, untuk tidak berdagang dengan China, jika mereka ingin terus mengekspor ke AS.
Dampaknya ke Negara Lain
Mengutip data Dana Moneter Internasional, AS dan China memiliki sumbangan besar dari ekonomi global. Bahkan sampai 43%.
Perang dagang habis-habisan bisa memperlambat pertumbuhan keduanya atau bahkan mendorong mereka ke dalam resesi. Hal itu kemungkinan akan merugikan ekonomi negara lain.
Bentuknya adalah pertumbuhan global yang lebih lambat. Investasi global juga kemungkinan akan menderita.
Selain itu, China adalah negara manufaktur terbesar di dunia. China sudah menjalankan surplus barang hampir US$1 triliun, yang berarti mengekspor lebih banyak barang ke seluruh dunia daripada yang diimpornya.
China juga sering kali memproduksi barang-barang tersebut di bawah biaya produksi. Ini karena subsidi dalam negeri dan dukungan keuangan negara, seperti pinjaman murah, untuk perusahaan-perusahaan tertentu.
Baja adalah contohnya. Ada risiko bahwa jika produk-produk tersebut tidak dapat masuk ke AS, perusahaan-perusahaan China dapat berusaha untuk “membuangnya” ke luar negeri.
Meskipun hal itu dapat menguntungkan bagi sebagian konsumen, hal itu juga dapat merugikan produsen di negara-negara yang mengancam lapangan kerja dan upah. Kelompok lobi UK Steel telah memperingatkan tentang bahaya kelebihan baja yang berpotensi dialihkan ke pasar Inggris.
Dampak limpahan perang dagang China-AS akan terasa secara global. Sebagian besar ekonom menilai bahwa dampaknya akan sangat negatif.
Kehancuran Monumental
Sementara itu mengutip New York Times, sejumlah analis menilai kehancuran monumental bisa terjadi. Hubungan yang dibentuk sudah hancur.
“Kita sedang mendekati kehancuran yang monumental,” kata Direktur Arthur Ross dari Center on U.S.-China Relations di Asia Society di New York, Orville Schell.
“Jalinan yang telah kita jalin dengan sangat hati-hati selama beberapa dekade terakhir sedang terkoyak,” tambahnya.
Bakal ada gangguan yang mengancam terhadap arus barang senilai miliaran dolar antara China dan AS serta perdagangan yang sering kali melewati negara lain. Ini tak hanya berdampak buruk pada kedua ekonomi dan mitra dagang mereka.
“Anda tidak dapat memodelkan ini,” kata kepala eksekutif APAC Advisors, sebuah firma konsultan geopolitik, Steven Okun.
“Apakah negara-negara harus memilih antara AS dan China,” tambahnya.
Resesi global juga bisa tercipta. Namun mungkin awalnya AS yang lebih dulu kena.