Dalam upaya mengatur tata niaga perdagangan dan tata kelola tanaman ‘narkoba’ kratom, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memberikan titah langsung kepada para menteri kabinet Indonesia Maju. Adapun salah satu titahnya ialah melanjutkan riset atas tanaman herbal tersebut, agar semakin jelas apakah tanaman kratom membahayakan bagi masyarakat atau tidak. Apakah bakal dikategorikan sebagai narkoba atau tidak.
Presiden Jokowi pun menargetkan hasil riset kratom yang dilakukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) selesai pada Agustus ini.
Peneliti dari Pusat Riset Vaksin dan Obat BRIN Masteria Yunovilsa Putra mengatakan, pihaknya kini sedang berproses melakukan riset tersebut. Katanya, hasil riset akan pihaknya selesaikan sesuai dengan waktu yang ditargetkan Jokowi.
“Untuk riset kratom kita sedang on progress. Insyaallah akan kami selesaikan sesuai waktu yang diminta oleh Presiden (Jokowi),” kata Masteria kepada CNBC Indonesia, Kamis (15/8/2024).
Kendati demikian, ia masih belum bisa memberikan kepastian kapan tepatnya hasil riset itu bisa selesai. Saat ini, lanjut dia, tim riset BRIN sedang melakukan finalisasi hasil riset kratom.
“Sekarang kami sedang finalisasi hasilnya. (Kalau sudah selesai) kami akan langsung serahkan ke semua stakeholder terkait, sebagai pengambil keputusan nantinya,” ucap dia.
Lebih lanjut, Masteria menjelaskan, kratom atau dikenal dengan nama ilmiah Mitragyna speciosa telah lama digunakan oleh masyarakat di beberapa wilayah Asia Tenggara, termasuk Indonesia untuk keperluan medis tradisional. Daun ini dipercaya memiliki efek analgesik, stimulan, dan dapat membantu mengatasi kecanduan opioid.
Ia menjelaskan, opioid adalah sekelompok obat yang bekerja pada sistem saraf pusat untuk menghasilkan efek pereda nyeri dan euphoria.
“Sebagian besar opioid menghasilkan efek analgesik, dengan mengaktifkan reseptor mu-opioid. Namun demikian, penggunaan beberapa senyawa opioid dalam jangka panjang dapat mengakibatkan efek samping yang merugikan seperti toleransi terhadap dosis analgesik, depresi pernafasan dan konstipasi,” jelasnya.
Banyak pengguna kratom melaporkan, daun ini membantu mereka mengatasi rasa sakit kronis, kecemasan, dan depresi. Selain itu, kratom juga disebut-sebut sebagai alternatif yang lebih aman dibandingkan obat-obatan opioid yang dapat menyebabkan ketergantungan parah. Namun, beberapa penelitian menunjukkan, beberapa senyawa pada kratom memiliki potensi menyebabkan efek samping seperti mual, kejang dan lain sebagainya.
“Kratom juga menghasilkan efek analgesik. Efek analgesik ini disebabkan oleh kandungan alkaloid utamanya yaitu mitragynine dan turunannya seperti 7-hydroxymitragynine,” terang dia.
Studi pengikatan radioligand terbaru, kata Masteria, menunjukkan beberapa senyawa alkaloid dari kratom memiliki afinitas pengikatan yang lebih rendah pada reseptor mu-opioid dibandingkan dengan morfin. Dengan demikian, mitragynine kratom jauh lebih aman sebagai agen analgesik daripada morfin.
“Studi aktivitas analgesik secara in vivo yang kami lakukan dengan menggunakan hotplate menunjukkan, ekstrak alkaloid kratom dengan kandungan senyawa mitragynine sekitar 46% menimbulkan efek analgesik terhadap rasa sakit akibat panas yang diinduksi oleh hotplate pada hewan coba (Mencit atau hewan pengerat),” ucapnya.
Berdasarkan hasil penelitiannya, pemberian ekstrak alkaloid kratom secara kronis selama sepuluh hari pada hewan coba, menunjukkan efek analgesik alkaloid kratom hampir sama dengan efek analgesik yang ditimbulkan morfin.
“Sebagaimana halnya ditemukan pada studi yang lain, efek morfin mengalami penurunan (toleransi terhadap dosis analgesik) pada hari kelima treatment, sementara ekstrak alkaloid kratom dapat menunda efek toleransi hingga hari ke-10,” terang dia.
Efek analgesic yang dimiliki oleh alkaloid kratom memiliki potensi untuk dimanfaatkan dalam bidang kesehatan. Salah satunya adalah penggunaan ekstrak alkaloid kratom sebagai adjuvant untuk pengobatan kanker bersama penggunaan dosis rendah obat antikanker doxorubicin dalam menghambat pertumbuhan sel kanker secara in vitro.
Berdasarkan hasil riset yang dilakukan Masteria yang dalam proses peer review journal, juga menemukan adanya potensi alkaloid kratom untuk dikembangkan sebagai obat antiinflamasi yang mampu menurunkan efek samping yang biasa ditemui pada obat-obatan anti inflamasi golongan non steroid (non-steroid antiinflammatary drugs) secara in vitro.
“Aktivitas ini ditengarai karena adanya mekanisme dual inhibisi dari senyawa alkaloid kratom terhadap enzim yang berperan dalam proses inflamasi,” jelasnya.
Menurutnya, di Indonesia, khususnya di daerah Kalimantan, kratom menjadi komoditas penting bagi petani lokal. Ekspor daun kratom ke mancanegara memberikan pendapatan yang signifikan bagi mereka.
Dalam bidang kesehatan, kratom memiliki potensi yang dapat dikembangkan untuk bahan baku obat. Namun demikian, penggunaan ekstrak dari alkaloid kratom dalam dosis tertentu diindikasikan dapat memberikan efek samping.
“Oleh karena itu, regulasi yang tepat diperlukan tanpa mempengaruhi mata pencaharian para petani dan memberikan efek negatif pada masyarakat. Penelitian lebih lanjut dan dialog terbuka antara pemerintah, ahli kesehatan, dan masyarakat diharapkan dapat menghasilkan kebijakan yang adil dan bijaksana terkait penggunaan dan pengembangan daun kratom,” pungkasnya.